UPAYA PEMULIHAN EKONOMI MELALUI STRATEGI KEBIJAKAN MONETER – PERBANKAN DAN INDEPENDENSI BANK INDONESIA
I. Pendahuluan
Pembangunan
ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia menuntut
berbagai prasyarat untuk mencapai keberhasilannya. Salah satunya adalah
keterlibatan sektor moneter dan perbankan, yang merupakan salah satu
unsur penting dalam proses pembangunan tersebut. Bahkan sebagian
masyarakat sering berharap terlampau banyak dari sektor moneter dan
perbankan dalam memecahkan berbagai masalah ekonomi, termasuk masalah
yang timbul dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia dewasa ini.
Kebijakan moneter dan perbankan sering dipandang mempunyai kekuatan yang
lebih dari apa yang secara efektif dapat dicapai dengan kebijakan
tersebut. Disatu sisi hal ini dapat dipahami mengingat sektor moneter
dan perbankan memang mempunyai fungsi yang mampu memberi pelayanan pada
bekerjanya sector riil; baik kegiatan investasi, produksi, distribusi
maupun konsumsi. Namun, sampai pada tahap tertentu, harapan yang terlalu
banyak tersebut perlu diluruskan. Sektor moneter-perbankan, dan
karenanya juga kebijakan moneter-perbankan, hanyalah salah satu bagian
dari keseluruhan kebijakan pembangunan nasional yang secara bersamasama
dalam suatu sinergi diarahkan untuk mencapai berbagai sasaran
pembangunan. Oleh karena itu, pembahasan maupun perumusan kebijakan
moneter-perbankan harus senantiasa ditempatkan pada konteksnya sebagai
bagian dari kebijakan ekonomi nasional. Pemahaman ini menjadi semakin
penting dalam kaitannya dengan arah kebijakan ekonomi nasional kita
dewasa ini yang diarahkan pada upaya pemulihan ekonomi pasca-krisis
dengan menitikberatkan pada program stabilisasi dan reformasi ekonomi.
Tulisan
ini akan mencoba untuk mengkaji strategi kebijakan moneter dan
perbankan yang tepat dalam mendukung upaya pemulihan perekonomian
nasional.
Untuk
itu, pada bagian awal akan diuraikan secara kilas balik mengenai
sebab-sebab terjadinya krisis dan dampaknya terhadap perekonomian
nasional. Selanjutnya akan diuraikan mengenai langkah-langkah yang
ditempuh untuk memulihkan perekonomian nasional melalui kebijakan
moneter-perbankan dengan fokus pada upaya pemberdayaan perbankan. Pada
bagian akhir secara khusus akan dikaji mengenai UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan kuatnya nuansa
“independensi” serta implikasinya pada pelaksanaan tugas-tugas Bank
Indonesia di bidang moneter dan perbankan.
II. Akar permasalahan krisis dan dampaknya terhadap perekonomian Nasional
Akar permasalahan krisis ekonomi
Krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya merupakan akibat dari
semakin cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam
perekonomian global, dimana pada saat yang sama perangkat kelembagaan
bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik. Di
satu sisi, keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas dan
berbagai langkah deregulasi yang ditempuh Pemerintah telah memberikan
manfaat yang besar bagi perkembangan perekonomian domestik yang bergerak
terus secara dinamis. Kegairahan dunia usaha yang didukung oleh kondisi
makroekonomi yang stabil telah mengundang masuknya modal asing dalam
jumlah besar, khususnya dari sektor swasta. Berbagai perkembangan ini,
ditambah dengan proses privatisasi yang semakin kuat, telah menjadi
factor pendorong penting bagi tingginya kegiatan ekonomi Indonesia.
Akan
tetapi, di sisi lain, dinamisme perekonomian makro yang tinggi tersebut
tidak sepenuhnya disertai dengan upaya untuk menata pengelolaan dunia
usaha (mikroekonomi). Hal ini dapat dilihat antara lain dari rendahnya
kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintah akibat
kurangnya transparansi dan konsistensi serta lemahnya informasi. Selain
itu, kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya, baik oleh sektor swasta
maupun pemerintah, juga merupakan cerminan dari menurunnya efisiensi
pengelolaan dunia usaha. Kelemahan fundamental mikroekonomi juga
tercermin pada kerentanan (fragility) yang terdapat dalam sektor
keuangan, khususnya perbankan. Terdapat lima faktor yang mengakibatkan
kondisi mikro perbankan nasional menjadi rentan terhadap gejolak
ekonomi, yaitu:
· Pertama, adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari
bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah
kegagalan sistemik dalam industry perbankan telah menimbulkan moral hazard di
kalangan pengelola dan pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser
risiko yang dihadapi perbankan ke bank sentral serta mendorong
perbankan untuk mengambil utang yang berlebihan dan memberikan kredit ke
sektor-sektor yang berisiko tinggi.
· Kedua, sistem
pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya
dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan.
Hal ini telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan operasional yang telah ditetapkan.
· Ketiga, besarnya
pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending) telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank.
· Keempat,
relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan
penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi
bank. Situasi ini diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem
informasi internal di dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan
kredit bermasalah dan posisi risiko yang berlebihan.
· Kelima,
kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah
mengakibatkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang
kondisi keuangan suatu bank juga telah melemahkan upaya untuk melakukan
kontrol social dan menciptakan disiplin pasar (market discipline).
Dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian Indonesia
Dengan
kondisi fundamental ekonomi mikro seperti tersebut di atas, gejolak
nilai tukar, yang sebenarnya hanya merupakan efek penularan (contagion effect)
dari yang terjadi di Thailand, telah menimbulkan berbagai kesulitan
ekonomi yang sangat parah. Kondisi stagflasi dan instabilitas mewarnai
ekonomi Indonesia, khususnya pada periode selama tahun 1998. Penurunan
nilai tukar rupiah yang tajam disertai dengan terputusnya akses ke
sumber dana luar negeri menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara
drastis sebagai akibat tingginya ketergantungan produsen domestic pada
barang dan jasa impor. Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi
4 kewajiban-kewajiban luar negeri yang segera harus dipenuhinya.
Pemutusan hubungan kerja juga sangat mewarnai ekonomi Indonesia pada
saat itu sebagai dampak semakin banyaknya perusahaan mengurangi
aktivitas, atau bahkan menghentikan produksinya. Pada saat yang
bersamaan, kenaikan laju inflasi yang tinggi (77,6%) dan penurunan
penghasilan masyarakat akibat merosotnya kegiatan ekonomi (kontraksi
13.7%) telah mengakibatkan menurunnya daya beli dan tingkat
kesejahteraan masyarakat serta memperluas kantong-kantong kemiskinan. Di
sektor perbankan, depresiasi rupiah yang kemudian diikuti oleh kenaikan
suku bunga sebagai konsekuensi upaya penstabilan harga dan nilai tukar
rupiah telah memperburuk kinerja debitur sehingga kredit bermasalah
semakin membengkak. Bank-bank terpaksa menanggung marjin bunga bersih (net interest margin)
negative sebagai akibat peningkatan suku bunga dana yang lebih cepat
dibandingkan dengan peningkatan suku bunga pinjaman. Situasi tersebut
telah meningkatkan kerugian bank, yang pada akhirnya mengikis permodalan
bank sehingga hampir semua bank mengalami kekurangan modal. Terpuruknya
sektor perbankan yang mengakibatkan terganggunya fungsi intermediasi
membawa dampak yang lebih jauh, yaitu menipisnya sumber dana bagi
kegiatan sektor riil, termasuk sektor usaha kecil dan koperasi. Di lain
pihak, bank-bank juga cenderung menanamkan dananya di pasar uang antar
bank (PUAB) dan Sertipikat Bank Indonesia (SBI) daripada di sektor riil
yang dipandang mengandung risiko kredit lebih tinggi. Begitu besarnya
dampak negatif dari krisis ekonomi tersebut, sehingga berbagai
permasalahan non-ekonomi yang sangat berat dan mendasar pun muncul dalam
waktu yang relatif bersamaan. Kerusuhan sosial telah menyebabkan
berbagai kerusakan, baik di sektor produksi dan jaringan distribusi,
yang berdampak pada memburuknya iklim usaha di Indonesia.
Jaringan distribusi yang tidak sepenuhnya berfungsi, disertai dengan panic buyingtelah
menyebabkan munculnya ekspektasi masyarakat akan kenaikan harga-harga
secara berkelanjutan. Kesemuanya itu selanjutnya telah menyebabkan
berkurangnya kepercayaan masyarakat, domestic maupun internasional,
terhadap prospek ekonomi Indonesia. Sementara itu, prospek ekonomi di
kawasan lain, khususnya Amerika Serikat, sangat menjanjikan. Akibatnya,
modal asing, yang selama ini turut membiayai pembangunan ekonomi
Indonesia, keluar secara bersamaan dan dalam jumlah besar-besaran.
III. Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter dan Perbankan
Upaya
pemulihan ekonomi nasional telah ditempuh oleh Pemerintah melalui
langkah-langkah kebijakan yang bersifat menyeluruh yang tidak hanya
menyangkut program stabilisasi makroekonomi (kebijakan moneter dan
fiskal) tetapi juga program reformasi di bidang keuangan dan sektor
riil. Dengan melihat strategisnya peran perbankan dalam perekonomian
maka upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan, khususnya
perbankan, menjadi sangat penting. Sektor perbankan memiliki peranan
yang penting dalam proses kebangkitan (recovery) perekonomian secara
keseluruhan. Di samping peranannya dalam penyelenggaraan transaksi
pembayaran nasional dan menjalankan fungsi intermediasi (penyaluran dana
dari penabung/pemilik dana ke investor), sektor perbankan juga
berfungsi sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Dengan industri
perbankan yang umumnya sedang mengalami kesulitan, transmisi kebijakan
moneter melalui sektor perbankan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan.
Hal ini mengakibatkan kebijakan moneter sering kurang efektif dalam
mencapai sasaran. Dengan kerangka yang demikian, sangatlah sulit
dibayangkan format pemulihan perekonomian nasional melalui program
stabilisasi ekonomi makro apabila sektor perbankan tetap berada dalam
kesulitan yang parah. Untuk mengatasi dampak krisis, apa yang dapat
dilakukan segera adalah melakukan restrukturisasi perbankan. Rangkaian
kebijakan tersebut diharapkan dapat kembali membangun kepercayaan
masyarakat dalam dan luar negeri terhadap system keuangan dan
perekonomian kita, mengupayakan agar perbankan kita menjadi lebih
solvabel sehingga dapat kembali berfungsi sebagai lembaga perantara yang
mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus meningkatkan efektifitas
pelaksanaan
kebijakan moneter. Dengan luasnya cakupan sasaran yang akan dicapai
tersebut, strategi umum yang banyak diterapkan di Asia, khususnya
program-program ekonomi, bertumpu pada 4 (empat) bidang kebijakan pokok:
1. Di
bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan
atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, yaitu kebijakan
moneter yang ketat.
2. Di
bidang Fiskal, ditempuh kebijakan fiskal yang lebih terfokus kepada
upaya realokasi pengeluaran kegiatan-kegiatan yang tidak produktif
kepada kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi ‘social cost’ yang ditimbulkan akibat krisis ekonomi yang terjadi.
3. Di bidang pengelolaan dunia usaha (corporate governance),
ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di
sektor publik atau swasta. Termasuk di dalamnya upaya untuk mengurangi
intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang
produktif lainnya.
4. Di
bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki
kelemahankelemahan sistem perbankan berupa restrukturisasi perbankan
yang bertujuan untuk mencapai 2 hal, yaitu mengatasi dampak krisis, dan
menghindari terjadinya krisis di masa yang akan datang.
Program
pemulihan ekonomi yang dilakukan di Indonesia pada dasarnya juga
bertumpu pada hal yang sama. Namun demikian, upaya penyehatan dan
pemberdayaan sektor perbankan telah menyita perhatian yang jauh lebih
besar khususnya dalam dua tahun terakhir ini, tidak hanya dari segi
waktu dan tenaga yang dicurahkan tetapi juga dari segi biaya yang
dikeluarkan. Hal ini karena krisis yang dialami oleh sector perbankan
begitu mendalam, tidak hanya terjadi pada tingkat individual bank tetapi
telah merupakan krisis sistem perbankan secara umum. Krisis ini dalam
perkembangannya seperti yang kita saksikan bersama telah memperburuk
kinerja perekonomian. Dalam konteks inilah kita tempuh kebijakan
perbankan yang komprehensif yang tidak saja diharapkan dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi pada tingkat individual bank
dan sistem perbankan, tetapi juga dapat mempercepat pemulihan kegiatan
ekonomi nasional. Upaya pemberdayaan perbankan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi empat program, yakni :
i. program rekapitalisasi bank-bank yang merupakan langkah strategis untuk memperbaiki permodalan bank;
ii
program restrukturisasi kredit yang akan sangat menentukan keberhasilan
program rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan ekonomi secara
keseluruhan;
iii
program pengembangan infrastruktur perbankan untuk meningkatkan daya
tahan bank-bank dalam menghadapi berbagai gejolak, antara lain rencana
pendirian Lembaga Penjamin Simpanan dan pengembangan bank syariah;
iv program penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan bank.
Keempat
aspek dalam rangka restrukturisasi perbankan tersebut berjalan
simultan, dan harus sudah selesai pada sekitar tahun 2001. Dengan
demikian, kelemahan sistem perbankan yang selama ini menjadi sumber dari
beratnya kerusakan ekonomi akibat krisis akan berangsur-angsur hilang,
diharapkan kita akan memiliki sistem perbankan yang mempunyai ketahanan
yang tinggi. Untuk menjaga sustainabilitykebijakan
restrukturisasi perbankan, baik melalui penyehatan di sisi aktiva maupun
pasiva, perlu disertai dengan restrukturisasi sisi operasional
perbankan dan perbaikan ekonomi makro secara umum, termasuk sektor riil.
Untuk itu diperlukan beberapa syarat yang perlu menjadi pemikiran,
yaitu:
1. Kondisi
ekonomi makro yang stabil. Kondisi ekonomi yang stabil merupakan
persyaratan yang penting bagi terwujudnya kegiatan usaha bank yang
sustainable. Dengan laju inflasi yang rendah, disertai oleh nilai tukar
yang stabil, suku bunga dapat diharapkan untuk terus turun ke tingkat
“normal”, sehingga bank-bank tidak lagi harus menanggung beban negative
spread dan bahkan dapat memupuk keuntungan untuk memperkuat
permodalannya. Kestabilan nilai tukar dan kestabilan tingkat harga juga
pada dirinya memberikan kestabilan dan kepastian bagi usaha bank-bank.
2.
Dukungan dari program restrukturisasi dunia usaha. Penyehatan usaha
bank perlu didampingi oleh penyehatan sektor riil karena keduanya
terdapat keterkaitan yang sangat erat. Dalam hubungan ini
langkah-langkah yang dilakukan melalui program INDRA, Prakarsa Jakarta,
maupun program restrukturisasi kredit bank-bank dengan prokarsa Bank
Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dunia
usaha, sehingga dunia usaha dapat mulai berkiprah kembali bersama-sama
dunia perbankan
3.
Pembaharuan sistem hukum dan perundang-undangan serta sistem
akuntansi. Perbaikan dari segi hukum dan akuntansi diharapkan untuk
menciptakan transparansi dan kepastian usaha bank dengan tetap
memberlakukan azas kehatihatian.
4. Penciptaan
pasar yang efisien (Market and institutional deepening). Penciptaan
pasar yang efisien memungkinkan terciptanya fungsi intermediasi yang
optimum dan efektivitas kebijakan moneter. Hal ini dilakukan antara lain
melalui penciptaan sistem insentif yang cocok, yaitu berdasarkan
mekanisme pasar.
5.
Tenaga-tenaga terlatih yang mempunyai dedikasi dan integritas tinggi
untuk mengelola perbankan. Sehubungan dengan itu, program-program
pelatihan dan pembinaan, serta program pengawasan bank yang efektif dan
terus menerus untuk menjamin kualitas dari sumber daya manusia yang ada
di perbankan merupakan
hal-hal
yang mutlak harus dilakukan. Pengalaman di banyak negara menunjukkan
bahwa diperlukan strategi restrukturisasi yang komprehensif yang tidak
hanya menekankan pada upaya penyehatan aspek keuangan perbankan semata,
tetapi juga memperhatikan konsistensinya dengan program pemulihan
ekonomi makro. Melalui pendekatan yang komprehensif, telah dibuktikan
bahwa restrukturisasi perbankan telah memberikan dampak positif bagi
upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penurunan laju inflasi.
Hal ini dapat terjadi karena pemulihan fungsi intermediasi perbankan
secara efektif meningkatkan kembali mobilisasi dana, merealokasi sumber
keuangan secara lebih efisien dan mendorong penurunan tingkat bunga.
Dengan kondisi makroekonomi yang semakin terkendali tersebut,
kepercayaan masyarakat dan investor secara berangsur-angsur diharapkan
dapat pulih sehingga pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi kita.
IV. Independensi Bank Indonesia Dalam Menetapkan Kebijakan Moneter
Disamping
faktor efektivitas kebijakan, upaya stabilisasi dan reformasi ekonomi
di sektor moneter-perbankan juga sangat dipengaruhi oleh tingkat
kewenangan Bank Indonesia dalam menetapakn kebijakan dimaksud.
Sebagaimana diketahui, sebelum berlakukanya Undang-undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia, landasan hukum bagi Bank Indonesia sebagai
bank sentral adalah Undangundang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
Dalam
Undang-undang yang lama ditetapkan bahwa dalam menjalankan tugasnya
Bank Indonesia mengacu pada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah yang
perumusannya dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal ini mencerminkan
kekurangtegasan dalam pembagian tugas dan tanggungjawab anatara Bank
Indonesia selaku bank sentral dengan Pemerintah, serta mencerminkan pula
keterbatasan wewenang bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan
kebijakan di bidang moneter dan perbankan. Terbatasnya kewenangan Bank
Indonesia tersebut berakibat pada kurang efektifnya langkah-langkah yang
ditempuh oleh Bank Indonesia dalam mengatasi krisis moneter yang
berlangsung beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk
memberikan kewenangan yang lebih tegas kepada Bank Indonesia dalam
menajlankan fungsinya selaku otritas moneter. Untuk itulah, sejak
tanggal 17 Mei 1999 Undang-undang No. 13 Tahun 1968 diganti
Undang-undang No. 23 Tahun 1999. UU yang baru diwarnai oleh kuatnya
nuansa "independensi" yang diberikan kepada Bank Indonesia. Hal ini
menunjukkan terdapatnya keseriusan dan kesadaran bersama untuk
memperkokoh fungsi dan peranan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Banyak hal mendasar dalam UU Bl ini yang diharapkan dapat meningkatkan
efektivitas Bank Indonesia sebagai bank sentral. Dalam UU ini dirnuat
berbagai ketentuan/pasal yang memberikan dasar hukum yang kuat bagi
independensi Bank Indonesia, seperti kedudukan dan status Bank
Indonesia, tujuan dan tugas, penetapan dan pelaksanaan kebijakan
moneter, pengaturan dan pengawasan bank, pengaturan dan pemeliharaan
kelancaran sistem pembayaran, akuntabilitas dan transparansi, serta
mengenai Pimpinan Bank Indonesia. Jiwa yang terkandung di dalam
Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia ini adalah bahwa kestabilan moneter merupakan prasyarat mutlak bagi dapat terlaksananya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, bahwa Bank Sentral perlu diberi tugas dan tanggung jawab untuk menjaga kestabilan moneter tersebut, dan bahwa tugas itu akan dapat terlaksana dengan baik hanya apabila Bank Sentral terbebas dari campur tangan pihak-pihak lain, termasuk Pemerintah.
Pandangan atau jiwa tersebut merupakan pandangan yang diyakini
kebenarannya sejak lama di dalam ilmu ekonomi, namun pelaksanaannya
dimasa lalu banyak mengalami rintangan dari berbagai kepentingan politik
dan lainnya. Negara-negara yang menganut prinsip independensi bank
sentral sejak lama, seperti Amerika Serikat dan Jerman, telah
membuktikan bahwa dengan independensi tersebut mereka telah dapat
menjaga kestabilan moneter dengan lebih baik.
Dalam
beberapa tahun terakhir ini banyak negara, termasuk Indonesia, yang
semakin menyadari pentingnya independensi bank sentral ini, dan berhasil
merumuskan undang-undang yang menjamin independensi tersebut. Bagi
Indonesia, pengalaman masa lalu sebetulnya memberikan landasan yang
sangat kuat dan jelas bagi perlunya bank sentral yang independen.
Pengalaman pertama adalah pada waktu Orde Lama, di mana Pimpinan Bank
Indonesia itu adalah Menteri Urusan Bank Sentral, yang secara struktural
harus melaksanakan programprogram Pemerintah. Pada waktu Pemerintah
memerlukan dana yang besar untuk menutup anggaran yang defisit, Bank
Indonesia harus mencetak uang untuk itu dalam jumlah yang luar biasa
banyaknya, dan akibatnya sudah kita ketahui bersama. Pengalaman kedua,
yang semakin menyadarkan kita akan pentingnya kestabilan moneter dan
perlunya independensi bank sentral untuk mencapainya, adalah krisis yang
baru saja kita alami. Kesadaran akan pentingnya kestabilan yang muncul
dari nuansa krisis ini akan selalu melekat dalam pengkajian mengenai
Undang-undang ini. Walaupun nantinya, krisis yang kita alami ini akan
berlalu, saya berharap bahwa kita tidak boleh lupa akan rangkaian proses
yang bermuara pada krisis yang kita alami. Berbagai faktor yang menjadi
pemicu krisis dapat terakumulasi selama bertahuntahun tanpa kita sadari
namun dampaknya dapat terjadi dengan sangat cepat dan dahsyat. Ini
merupakan pelajaran yang sangat berharga yang menunjukkan bahwa kita
tidak boleh lengah terhadap munculnya faktor-faktor yang dapat
menyebabkan ketidakstabilan perekonomian. Undang-undang No. 23 tahun
1999 memang mengandung dua aspek penting yang sejalan dengan apa yang
diuraikan terdahulu. Aspek pertama adalah kebebasan atauindependensi yang
diberikan kepada Bank Indonesia tanpa boleh dicampurtangani oleh
Pemerintah atau pihak-pihak lainnya. Independensi yang diamanatkan
Undang-undang ini merupakan upaya agar Bank Indonesia, sebagai penjaga
gawang kestabilan perekonomian, tetap fokus kepada upaya menjaga
kestabilan rupiah dalam kondisi politik yang dapat berubah. Aspek kedua, tujuan Bank Indonesia yang lebih terfokus, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Secara bersama-sama, aspek pertama dan aspek ke dua, di satu pihak bagi
Bank Indonesia akan merupakan tuntutan yang demikian berat agar
kestabilan nilai rupiah dapat dipelihara secara terus menerus dan di
lain pihak dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi semua pihak,
termasuk dunia usaha, bahwa kepastian iklim usaha untuk masa-masa yang
akan datang dapat lebih terjamin dengan stabilnya nilai rupiah.
Bagi
Bank Indonesia kedua aspek ini merupakan tuntutan yang harus dijawab
dengan profesionalisme dan integritas personalia yang tinggi. Dengan
melihat tugas Bank Indonesia yang diatur oleh Undang-undang yaitu
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan mengawasi Bank, maka
terdapat dua bidang yang harus ditangani oleh Bank Indonesia, yaitu
kestabilan moneter (monetary stability) dan kestabilan keuangan (financial stability), yang
keduanya saling terkait dan menunjang upaya mencapai kestabilan rupiah.
Dengan demikian, penyelenggaraan tugas Bank Indonesia di masa yang akan
datang akan lebih diarahkan untuk memelihara sinergi dalam mencapai
kestabilan moneter dan kestabilan finansial. Kami sangat menyadari akan
pentingnya kredibilitas,yang tercermin dari tingginya kepercayaan
masyarakat dan pelaku usaha terhadap kompetensi Bank Indonesia, untuk
dapat berhasil mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut. Oleh karena itu menjadi bank sentral yang kredibel dan disegani merupakan
visi Bank Indonesia di masa yang akan datang. Undang-undang ini
memberikan peluang lebih besar lagi kepada Bank Indonesia untuk
melakukan tugasnya secara lebih profesional. Adanya independensi telah
pula memberikan jaminan bahwa profesionalisme Bank Indonesia tersebut
dapat lebih difokuskan ke sasaran yang diinginkan, tanpa dicampuri oleh
kepentingan lain. Namun di sisi lain Bank Indonesia menyadari pula bahwa
pelaksanaan independensi ini haruslah disertai pula dengan sikap yang
bertanggung-jawab (accountability) yang didukung oleh keterbukaan
(transparansi). Untuk itu Bank Indonesia telah pula mempersiapkan
langkah-langkah pelaksanaan kebijakannya yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh publik.. Bank Indonesia
berkepentingan agar masyarakat memahami setiap kebijakan Bank Indonesia
senantiasa diarahkan demi kepentingan kestabilan perekonomian. Disamping
itu, secara internal pelaksanaan Undang-undang tentang Bank Indonesia
ini perlu didukung oleh adanya individu-individu Anggota Dewan Gubernur
dan pejabat Bank Indonesia yang mampu bersikap mandiri, yang tidak
dipengaruhi oleh pergantian Pemerintahan. Kemandirian invididu ini
sangat dibutuhkan untuk menunjang kemandirian Bank Indonesia dalam
penetapan kebijakan moneter. Untuk menjaga kemandirian ini pula
mekanisme penggantian dan pengangkatan Anggota Dewan Gubernur tidak
dilakukan sekaligus tetapi secara berkala setiap tahunnya. Dengan
demikian diharapkan Anggota Dewan Gubernur tidak terafiliasi pada
kepentingan politik tertentu, karena penggantian dan pengangkatannnya,
setelah disetujui DPR, belum tentu dilakukan oleh Presiden yang sama.
Suatu
hal yang perlu diketengahkan dan ditekankan dalam pembahasan mengenai
independensi ini adalah bahwa didalam pelaksanaan independensi tersebut
perlu disadari adanya inter-dependensi diantara berbagai
lembaga. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan independensi Bank
Indonesia dilakukan dalam suatu koridor pelaksanaan tugas bersama sama
dengan lembaga lain, khususnya dengan otorita fiskal. Pelaksanaan tugas
Bank Indonesia yang independen akan kurang efektif apabila tidak
diimbangi dengan pelaksanaan kebijakan fiskal yang juga bertanggung
jawab, berdisiplin dan transparan. Dalam hubungan ini, visi Bank
Indonesia berupa bank sentral yang kredibel dan disegani (respektabel)
sangat penting agar saran dan pendapat mengenai kewenangan Bank
Indonesia dapat dipahami oleh Pemerintah. Undang-undang ini juga telah
mengatur bentuk koordinasi antara Bank Indonesia dengan instansi lain
melalui kehadiran Menteri lain dalam Rapat Dewan Gubernur, keharusan
Kabinet mengikut-sertakan Gubernur Bank Indonesia dalam
pembahasanpembahasan yang terkait dengan moneter, dan lain sebagainya.
V. Penutup (Kesimpulan)
. Undang-undang
ini memberikan peluang lebih besar kepada Bank Indonesia untuk
melakukan tugasnya secara lebih profesional. Adanya independensi telah
pula memberikan jaminan bahwa profesionalisme Bank Indonesia tersebut
dapat lebih difokuskan ke sasaran yang diinginkan, tanpa dicampuri oleh
kepentingan lain. Untuk itu Bank Indonesia telah pula mempersiapkan
langkah-langkah pelaksanaan kebijakannya yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh publik. Bank Indonesia
berkepentingan agar masyarakat memahami setiap kebijakan Bank Indonesia
senantiasa diarahkan demi kepentingan kestabilan perekonomian
DAFTAR PUSTAKA :
Nama Kelompok :
1. Jeremia Dionisius Butar - Butar (23211808)
2. Afiatri (20211278)
3. Raymoon (25211923)
4. Hernanto (23211351)
Kelas : 1EB25
4. Hernanto (23211351)
Kelas : 1EB25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar